Kemajuan teknologi medis (medtech) telah memperbarui berbagai perangkat, peralatan, cara diagnosis, dan sistem informasi kesehatan. Perkembangan teknologi telah mengubah layanan perawatan kesehatan yang lebih efektif dengan kemampuan deteksi dini, prosedur yang tidak terlalu invasif, dan teknik terapi yang lebih baik.
Inovasi medis telah memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi, meningkatkan produktivitas, dan mengoptimalkan perawatan pasien. Teknologi seperti robot bedah hingga aplikasi yang memantau parameter biologis telah membantu tenaga kesehatan mendeteksi dan mengobati berbagai penyakit dan mengurangi biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan. Pemanfaatan data pasien juga membuka lebih banyak peluang untuk memberikan perawatan yang lebih personal. Berbagai perangkat kesehatan kini bisa mengumpulkan miliaran poin data.
Terlepas dari segala kemajuan yang terjadi, perusahaan teknologi medis mesti menghadapi berbagai tantangan ketika meluncurkan inovasi. Mereka mesti berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan keamanan dan tingkat akurasi alat dan inovasi yang diberikan, peningkatan biaya saat proses adopsi, serta regulasi yang ketat yang membutuhkan pemeriksaan hasil dan bukti cermat.
Oleh karena itu, ketika mengembangkan teknologi baru untuk layanan perawatan kesehatan, perusahaan perlu menilai potensi dampak secara keseluruhan. Agar tetap kompetitif, bisnis harus mempertimbangkan kembali sistem perusahaan, portofolio produk, strategi operasi, dan kompetensinya.
COVID-19 dan akselerasi medtech
Setelah berkecimpung selama lebih dari satu dekade di bidang teknologi kesehatan, Rina Lim, Kepala (Asisten Direktur), Center for Innovation in Healthcare (CIH), NUHS melihat industri kesehatan Singapura telah berkembang pesat. Keberhasilan ini merupakan investasi di bidang sains dan teknologi yang dilakukan negara itu sejak tahun 1990-an. Dengan dukungan ahli yang kuat, sistem kesehatan Singapura kini diarahkan untuk mengadopsi dan menerapkan solusi dan inovasi yang dapat meningkatkan layanan kesehatan masyarakat.
“Saya kira 15 tahun pertama telah membangun fondasi yang kuat. Setelah itu, kami beralih dari penelitian dasar ke lebih banyak penerjemahan dan inovasi. Di Front Nasional, kita telah beralih dari penelitian dasar ke inovasi menuju komersialisasi,” terangnya dalam wawancara dengan Mohit Sagar, CEO dan Pemimpin Redaksi di OpenGov Asia.
Tak dipungkiri, pandemi COVID-19 telah mempercepat evolusi yang terjadi di industri kesehatan, tak terkecuali di Singapura. Rina melihat banyak startup yang mulai mengembangkan perangkat robot dan menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas, menghapus tugas berulang, dan mengurangi tugas yang dikerjakan secara manual.
Selama periode COVID-19, mereka mengubah kantor pusat menjadi platform bagi industri dan startup yang mencoba berinovasi di sistem perawatan kesehatan. Menurutnya, beberapa perusahaan berusaha menciptakan robot telepresence atau robot desinfeksi UV misalnya. Dengan robot telepresence ini, pasien bisa berkonsultasi tanpa melakukan kontak langsung dengan pasien. Saat itu, hal ini penting untuk melindungi tenaga profesional perawatan kesehatan.
Selama pandemi, CIH membantu memfasilitasi penyebaran beberapa inovasi perawatan kesehatan seperti robot telepresence untuk konsultasi telehealth. Mereka juga telah memvalidasi beberapa inovasi perawatan kesehatan, misal untuk melakukan tes darah, asisten AI untuk pencitraan, dan sebagainya.
Beberapa inovasi teranyar lain di bidang medis adalah soal pil pintar yang dilengkapi dengan sensor yang diklaim aman untuk masuk ke dalam pencernaan. Pil ini digadang-gadang digunakan untuk melacak berbagai matriks kesehatan, operasi jarak jauh, dll.
Bagi Rina, instansi yang akan melakukan adopsi inovasi perlu untuk memiliki gambaran tujuan akhir yang jelas. Untuk apa data yang akan dikumpulkan itu, mereka harus bisa menjawab apa sebenarnya yang mereka coba atasi. Pada akhirnya, Rina menekankan semua inovasi yang hadir mesti dievaluasi atas kejelasan dampak dan manfaat yang diberikan.
Hal serupa perlu diterapkan ketika berbicara soal penggunaan AI di industri medis. Menurutnya, AI mesti diperlakukan sebagai data penyokong. Namun, keputusan akhir mesti tetap dipegang oleh para perawat kesehatan profesional.
Tantangan inovasi medis
Membawa teknologi medis dari laboratorium menjadi produk komersial tidaklah mudah. Menurut Rina, ada empat komponen yang harus dilalui sebuah produk medis: ide awal, prototipe, adopsi dan komersialisasi, serta regulasi.
Menurut Rina, tiap fase memiliki tentangan tersendiri. Sistem perawatan kesehatan memerlukan bukti klinis lewat uji klinis yang valid. Imbasnya, iterasi pembuatan prototipe desain perlu pengujian yang panjang sebelum akhirnya masuk ke proses manufaktur. “Proses dari prototipe penelitian menuju pembuatan prototipe punya celah dan jembatan yang cukup sulit untuk diseberangi,” tuturnya.
Selain itu, peraturan untuk peralatan dan produk di sektor ini dilindungi oleh peraturan yang ketat lantaran berkaitan dengan hidup dan mati seseorang. Setelah itu, tantangan selanjutnya ada di tahap adopsi. Perlu upaya lebih keras untuk menyosialisasikan inovasi kesehatan karena orang-orang cenderung lebih konservatif di industri kesehatan. Selain itu, biaya adopsi yang tinggi pun akan berpengaruh pada beban operasional.
Tantangan terakhir adalah komponen bisnis. “Para pebisnis pemula dan inovator harus membuat model bisnis yang sehat dan target pasar yang tepat. Jadi, mereka benar-benar perlu melakukan pemikiran mendalam dan proses berulang untuk menjawab tantangan ini.”
Rina mengungkap membuat inovasi bukanlah perjalanan tunggal, sebab perlu banyak komponen dan keahlian berbeda yang berkolaborasi untuk menyukseskan perjalanan yang dilakukan. Dalam industri medis, beberapa bagian yang perlu dilibatkan adalah teknologi klinis, mitra komersial, mencocokkan mitra inovasi, dan pengguna klinis. Untuk mendukung keberhasilan kemitraan, maka perlu ada solusi yang saling menguntungkan. Untuk itu, CIH selalu mendorong kolaborasi dengan memfasilitasi kerja sama internal organisasi dengan pihak eksternal.
Menurut Rina, di CIH, mereka mencoba membuat ekosistem untuk berbagai mitra yang berbeda agar mereka bisa masuk dan memberikan saran. Mereka menampung ide dari mahasiswa kedokteran, inovator, mitra teknik, dan berbagai keahlian lain. Ide-ide itu lantas diterjemahkan menjadi sebuah MVP (minimum viable product), dan akhirnya bisa layak diproduksi secara massal.
Tim internal CIH sendiri memiliki ruang untuk inovasi, di mana mereka bekerjasama dengan startup dan mitra untuk duduk bersama. Harapannya, siapapun bebas masuk dan melontarkan ide di ruangan itu. Lantas, agar produk tersebut selaras dengan aturan yang ada, mereka juga memiliki jejaring dengan regulator yang akan memberikan saran agar pengembangan produk bisa sejalan dengan aturan pemerintah.
Untuk mempercepat produksi, hal itu dilakukan sembari mereka menyelesaikan produk akhir. Mereka pun memiliki manajer pengembangan bisnis yang membantu mengelola komunitas dan ekosistem para ahli yang mereka miliki.
Dukung inovasi lewat LKYGBPC
Rina menganggap Singapura memiliki potensi sebagai katalisator inovasi yang tepat untuk mendukung inovasi kesehatan. Inovasi di bidang ini membutuhkan berbagai keterampilan berbeda. Singapura punya potensi jejaring mentor dan pakar yang kuat dan bisa dimanfaatkan dengan mudah.
Tahap selanjutnya adalah membuat inovasi muncul dan bertumbuh secara natural. “Kita harus mencoba membangun budaya masif di mana semua orang berjalan dan berbicara tentang inovasi. Bukan meminta mereka mempresentasikan untuk melakukan inovasi, bukan. Tapi kita harus mencapai tahap yang mendukung inovasi muncul secara alami. Setiap kali muncul masalah persaingan, Anda muncul dengan inovasi.”
Sebagai salah satu wanita yang berkecimpung di dunia teknologi, Rina percaya keterlibatan perempuan di bidang ini bakal lebih terbuka lebar ke depan. Sebab, saat ini, kesempatan yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan untuk dididik tentang teknologi sudah terbuka lebar. Pendidikan STEM pun kian gencar dilakukan. Meski demikian, pada akhirnya, pilihan pekerjaan kembali tergantung pada minat tiap orang dan kita harus memisahkan ini dari pekerjaan khusus gender tertentu.
Meski demikian, ia mengakui keragaman pendapat, pengalaman, dan latar belakang diperlukan dalam memecahkan masalah dan menciptakan solusi. “Akan selalu ada perbedaan kelompok usia, latar belakang yang berbeda, suku bangsa, dan jenis kelamin. Kita mesti mengenali kekuatan dan kelemahan masing-masing individu alih-alih melihatnya sebagai masalah gender,” tutupnya.