Industri pangan dunia terus berkembang. Sentuhan teknologi telah mengubah berbagai lini industri pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga hasil olahan makanan. Industrialisasi dan automasi ikut mempercepat proses di produksi, rantai distribusi, hingga pemrosesan makanan.
Namun, beberapa praktik industrialisasi makanan menyebabkan metode produksi yang tidak ramah lingkungan, menimbulkan penyakit, resistensi antibiotik, hingga epidemi diabetes. Modal yang dikerahkan untuk menggerakkan roda ekonomi industri pangan kini dibayar dengan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, hancurnya habitat alam, dan pencemaran racun ke lingkungan.
Di sisi lain, standar permintaan konsumen juga meningkat. Mereka menginginkan makanan yang lebih sehat dan memerhatikan kelestarian lingkungan. Akibatnya, muncul tantangan-tantangan baru di industri pangan dan diperlukan sebuah terobosan baru untuk mengatasinya. Beberapa terobosan teknis proses dan metode transformatif diperlukan untuk mengatasi kesulitan sistem pangan dan memenuhi perubahan tren.
Keinginan konsumen yang meningkat untuk solusi makanan yang sehat, enak, tapi tetap memerhatikan kelestarian alam menjadi pendorong evolusi di sektor pangan. Inovasi diperlukan untuk menjawab semua tantangan itu. Saat ini, sejumlah inovasi tengah diupayakan perusahaan teknologi pangan untuk memproduksi sumber protein dari nabati dan sumber alternatif. Selain itu, ada pula inovasi dalam teknik pertanian alternatif, seperti pertanian vertikal dan hidroponik. Tren lain adalah inisiatif untuk mengurangi limbah makanan dan memberikan nutrisi tambahan ke makanan.
Dengan demikian, kolaborasi perusahaan rintisan, inkubator, dan akselerator di industri ini diharapkan bisa memberi kontribusi untuk masa depan industri pangan. Sebab, upaya mereka akan menjadi penentu industri pangan dunia yang lebih sehat, inovatif dan lestari.
Inovasi teknologi pangan
Perusahaan teknologi yang berurusan dengan masalah pangan mungkin belum banyak terdengar. Tapi, tren perusahaan teknologi pangan (food tech) tengah berkembang. Chris Aurand, Pimpinan Inovasi Terbuka, Thai Union menyebut saat ini pasar food tech mencapai US$260 miliar (Rp4 triliun) dan akan naik 6-10 persen dalam 5 sampai 10 tahun ke depan.
“Teknologi pangan mulai banyak dilirik terutama setelah COVID, sebab mereka mulai awas terhadap apa yang dimakan dan pengaruhnya pada kesehatan. Inilah yang membuat perusahaan startup teknologi makanan bertumbuh,” jelas Chris dalam wawancara dengan OpenGov Asia.
Chris sendiri telah bergelut di industri teknologi makanan selama sepuluh tahun terakhir. Satu hal yang membuatnya tertarik dengan sektor ini adalah dampak yang bisa dirasakan di keseharian banyak orang. Kontribusi memberikan dampak positif bagi kesehatan orang lain dan lingkungan menjadi pendorong terbesarnya untuk terus bergelut di industri ini.
Menurut Chris, terdapat sejumlah alasan yang mendorong munculnya revolusi industri pangan:
- Sebagian konsumen makin peduli dengan industri makanan ramah lingkungan mendorong munculnya penyedia pangan alternatif yang lebih lestari. Mereka menuntut cara dan sumber produksi makanan yang lebih memerhatikan keberlanjutan. Misal beberapa komunitas, khususnya di Eropa, lebih tertarik untuk membeli produk yang diproduksi secara lokal. Cara ini dinilai lebih ramah lingkungan karena mengurangi panjang rantai distribusi dan energi yang diperlukan untuk mengimpor makanan.
- Orang-orang yang makin peduli dengan kesehatan akan mencari produk-produk dengan nilai gizi yang lebih baik. Sejumlah perusahaan menciptakan antioksidan untuk mendukung imunitas dan kesehatan. “Ada sebuah perusahaan yang fokus menciptakan produk tetes seperti minyak ikan yang kaya akan DHA untuk ditambahkan pada makanan dan meningkatkan nutrisi makanan,” jelas Chris.
- Di sejumlah negara maju, seperti Jepang, Singapura, Hong Kong, jumlah populasi orang tua makin tinggi. Sehingga mereka perlu makanan yang mudah dicerna, sehat, dan mudah disiapkan.
Pencarian protein alternatif menjadi salah satu tren di industri makanan. Chris bercerita kalau salah satu perusahaan pangan itu tengah meneliti sumber protein baru dari air limbah. Mereka berusaha mencari cara untuk mengubah protein yang terdapat pada air tersebut agar bisa digunakan untuk makanan ternak, peliharaan, bahkan manusia. Sehingga, kita bisa menjaga polusi yang diciptakan dari peternakan dan tak lagi perlu membuat peternakan sebagai sumber protein. Sebab, peternakan merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar dunia.
Masalah limbah sisa makanan menjadi masalah lain yang ingin dipecahkan di sektor ini. Restoran dan toko roti modern menjadi penyumbang sampah terbesar dunia. Salah satu perusahaan food tech berinovasi dengan mengumpulkan makanan sisa itu untuk dijadikan pakan serangga. Serangga merupakan salah sumber protein alternatif selain hewan ternak. Cara ini ikut mendukung kelestarian lantaran mengurangi jumlah sampah organik yang berbahaya. Sampah akan menghasilkan gas metana yang bisa menimbulkan ledakan sewaktu-waktu, jika tidak diproses dan ditumpuk dalam waktu lama.
Tren lain yang akan berkembang menurut Chris adalah perkembangan teknologi pengawetan makanan yang lebih alami agar lebih ramah lingkungan. Hal ini bisa memberi dampak lebih jauh ke masalah kelestarian; mengurangi sampah makanan dan perbaikan untuk distribusi makanan.
Beberapa proses pengolahan dan pengawetan makanan saat ini telah digunakan, contohnya adalah pemrosesan dengan tekanan tinggi. Proses ini sudah ada selama 20-25 tahun dan makin memiliki peran penting. Chris mencontohkan bagaimana teknik ini bisa mengawetkan guacamole (saus yang terbuat dari alpukat) tetap segar selama sebulan di lemari es. Padahal, biasanya, alpukat akan berubah menjadi kecokelatan jika disimpan terbuka selama sehari.
Tantangan industri pangan
Lantaran berhubungan dengan kesehatan dan hidup manusia, industri pangan memiliki sejumlah regulasi yang ketat. Apalagi jika makanan konsumsi itu sudah melalui proses yang sangat inovatif. Terdapat sejumlah rintangan regulasi yang harus dilalui sebelum produk bisa meluncur ke pasar.
“Jika produk mereka sangat inovatif, maka akan ada banyak rintangan yang datang. Mereka harus memiliki mitra korporat yang lebih besar yang dapat membantu bernavigasi, sebab mereka harus membuktikan keamanan pangan itu. Mitra yang tepat akan membantu Anda memahami apa yang perlu Anda lakukan untuk menyesuaikan dengan peraturan tersebut.”
Ketika ditanya mengenai personalisasi di industri pangan, Chris menyebut hal itu sepertinya masih belum akan menjadi tren dalam waktu dekat. Sistem pangan saat ini cenderung menggunakan sistem industrialisasi dalam jumlah besar.
Di industri medis, isu personalisasi sudah muncul terkait dengan obat yang bisa dibuat secara khusus. Belakangan diketahui bahwa obat yang sama bisa memberikan tingkat kemanjuran yang berbeda pada orang berbeda ras. Menurut Chris, hal tersebut juga bisa diterapkan pada makanan.
Misalnya, makanan di Bangkok untuk orang Asia bisa disajikan berbeda dengan orang ras Eropa yang juga tinggal di sana. Personalisasi ini bisa terbantu dengan kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin. Namun, Chris pesimis hal ini akan terwujud dalam waktu dekat.
“Saya pikir personalisasi masih akan memakan waktu untuk dilakukan dalam skala besar,” tuturnya.
LKYGBPC mendukung inovasi dan kewirausahaan
Menurut Chris, kompetisi kewirausahaan Lee Kuan Yew Global Business Plan Competition yang diselenggarakan Singapore Management University (SMU) menjadi pendorong inovasi yang penting bagi generasi muda. Lewat kompetisi ini, mereka bisa mendapat praktik langsung untuk mengambil risiko dan berani gagal.
“Anda harus mendorong anak-anak bahwa mereka perlu gagal dan memahami kegagalan adalah bagian dari pembelajaran. Kompetisi membantu mereka mengambil risiko, sebab keberanian mengambil risiko merupakan inti dari inovasi. Anda akan mengambil banyak risiko, banyak kegagalan, dan Anda harus bisa belajar dari itu dan bangkit kembali,” tuturnya.
Untuk mendorong inovasi, Chris menyarankan perlunya dibuat suasana yang terbuka agar semua orang punya perasaan aman dan kebebasan berbicara. Jika terjadi kegagalan, maka bisa dilakukan diskusi terbuka untuk membahas penyebab kegagalan. Dalam situasi terbuka ini, semua harus berkontribusi memberikan ide.
“Anda hanya perlu mencari tahu mengapa itu tidak berhasil. Imbasnya, anggota tim memiliki zona aman untuk berbicara dan tidak merasa dihakimi dan mereka pun bersedia mengambil risiko. Saya pikir itu adalah bagian dari tantangan yang kami hadapi. Semua orang ingin semuanya sempurna saat pertama kali membuat sesuatu, tapi mereka perlu tahu kalau mereka juga bisa gagal.”
Para wirausahawan juga didorong untuk memahami kekuatan dan kelemahan mereka. Semakin cepat memahami apa yang disukai dan tidak disukai oleh seorang entrepreneur maka akan semakin baik. Hal ini dapat membuat ia mendalami apa yang ia sukai dan meminta bantuan rekan untuk pekerjaan yang tidak disukai.
Chris juga mendukung bagaimana SMU mengatur kompetisi ini menjadi dua jalur. Pertama, jalur ide. Jalur ini mengharuskan startup untuk mengutarakan ide mereka seperti halnya melakukan pitching ke inkubator. Kedua, jalur untuk startup yang sudah memiliki pendapatan. Dengan demikian, kedua tipe peserta bisa saling belajar satu sama lain. Sehingga mereka bisa memberikan pelatihan satu sama lain, berbicara, hingga berkolaborasi.
Kompetisi global ini membuka kesempatan lebih besar kepada para peserta untuk mempelajari apa yang dilakukan oleh startup di wilayah lain. Selain itu, acara ini juga membuka kesempatan kolaborasi dengan peserta dari negara-negara lain. Mereka pun bisa mendapat inspirasi dari peserta lain dan memodifikasinya sesuai dengan kondisi pasar setempat.
Sementara itu, bagi para pegiat startup food tech, Chris menyarankan untuk memiliki ketabahan dan ketekunan dalam menjalani bisnis di sektor ini. Mereka sudah pasti akan mengalami banyak penolakan, sehingga ketabahan untuk mencari umpan balik yang tepat dan memperbaiki produk dan layanan adalah kunci agar bisa membalikkan keadaan.
Ia berpesan bahwa startup yang berhasil adalah mereka yang menantang status quo. Mereka mempertanyakan mengapa sebuah kebiasaan harus dijalankan dengan cara tertentu. Mengapa kita melakukannya dengan cara ini? Kenapa, kenapa harus seperti itu? Apakah bisa dipecahkan dari perspektif yang berbeda? Pertanyaan-pertanyaan itu diyakini Chris bisa membimbing para pegiat startup untuk menggoyahkan pemimpin pasar saat ini.
“Jadi saya kira yang terpenting bagi startup food tech adalah mencoba untuk memahami konsumen dan siap untuk memodifikasi produk tersebut dan teruslah mencoba. Startup mungkin perlu mengubah cara penyampaian pesan. Misal dengan mengubah pesan ‘makanan dengan indeks glikemik rendah’ menjadi makanan pengurangan gula’, karena orang-orang lebih memahami konsep tersebut.”
Ditambah lagi dengan dukungan komunitas startup sangat suportif. Hal ini bisa menjadi bantuan berharga di saat-saat sulit, terutama karena komunitas ini mencakup orang-orang yang bergelut dengan masalah yang sama.
“Saya jamin seseorang mengalami masalah yang sama dengan yang Anda miliki, dan mereka akan memiliki perspektif baru tentang hal itu yang mungkin tidak terpikirkan oleh Anda sehingga sangat penting untuk terhubung dan berkolaborasi,” jelasnya.